Rabu, 23 Maret 2011

Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Terhadap Tubuh



A. Tindak Pidana Umum
  1. Pengertian Tindak Pidana
                  Pengertian dari kata tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa       pidana adalah merupakan terjemahan dari kata “starfbaar feit” yang dibuat      oleh para pembuat Undang-Undang di Indonesia. Starfbaar feit sendiri        memiliki beberapa definisi seperti dikemukakan oleh :
      Pompe membedakan pengertian strafbaar feit menjadi :
a.       Definisi menurut teori “straf baar feit “ adalah merupakan pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan sipelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan kesejahteraan umum.
b.      Definisi menurut hukum positif, starfbaar feit adalah suatu kejadian (feit) yang oleh pengaturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum (Pompe 1959 : 39).[1]
            J.E Jonkers memberikan  definisi srafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. (Jonkers 1946 : 83).[2]
            Starbaar feit dapat juga mempunyai arti atau makna sebagai tindak pidana, peristiwa pidana,, suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana dan dapat dijatuhi hukuman.[3]
            Setelah melihat arti atau definisi dari starfbaar feit, para sarjana hukum mencoba menerjemahkan dan mencari istilah yang tepat untuk digunakan dalam bahasa Indonesia. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. Moeljatno S.H bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[4]
            Ada istilah lain yang dipakai dalam hukum pidana, yaitu “tindak pidana”. Istilah ini tumbuh dari pihak Kementrian Kehakiman, karena sering dipakai dalam sebuah perundang-undangan. Kata “tindak” lebih konkrit menyatakan suatu keadaan dari pada kata “perbuatan”. Kata “tindak” di sini dapat berarti kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik atau sikap jasmani seseorang, hal mana lebih dikenal dalam tindak-tanduk, timdakan dan bertindak  dan juga sering dipakai “ditindak”.[5] Dalam hal ini adalah kelakuan, tingkah laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani seseorang yang berkaitan dengan melawan hukum.
            Istilah “tindak pidana”, ini digunakan oleh Prof. Satochid Kartanegara S.H. karena istilah ini mencakup pengertian melakukan atau berbuat dan/atau tidak melakukan, tidak berbuat tidak melakukan suatu perbuatan.[6] Dalam perumusan ini harus juga mencakup unsure-unsur dari tindakannya yang melawan hukum pidana.
            Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. merumuskan, istilah “tindak pidana”, berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelakunya dapat dikatakn merupakan subyek tindak pidana.[7]
            Jika melihat penjelasan dari para ahli hukum dan lembaga hukum, di Indonesia juga masih terjadi ketidak samaan persepsi dalam menterjemahkan arti kata strafbaar feit itu sendiri. Tapi karena dalam skripsi ini telah menggunakan kata “tindak pidana”. Maka mungkin di sini dapat dirumuskan bahwa “tindak pidana” adalah suatu tindakan baik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan atau aktif maupun pasifnya seseorang atau badan sebagai subyek hukum yang bersifat melawan hukum dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan serta telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana, kepadanya akan dikenakan sanksi atau hukuman.

  1. Unsur-Unsur Tindak Pidana
                  Pada dasarnya tiap-tiap tindak pidana harus memiliki unsur-unsur          dalam suatu peraturan perundang-undangan hukum pidana itu sendiri yang di   Indonesia biasa disebut dan dikenal dengan nama KUHP. Di dalam pasal-      pasal yang terdapat pada KUHP haruslah memiliki unsure-unsur dari sebuah b   entuk tindak pidana, agar orang yang melakukan dapat dikenakan sanksi.     Menurut Vos di dalam sebuah tindak pidana dimungkinkan adanya beberapa    unsur yaitu :
      a.  Unsur perbuatan atau kelakuan orang, dalam hal berbuat atau tidak                     berbuat;
      b.   Unsur akibat dari perbuatan, yang terjadi dalam delik selesai.
            Unsur akibat ini dapat dianggap telah ternyata pada suatu perbuatan, dan           kadang-kadang unsur akibat tidak di pentingkan dalam delik formil, tetapi                  kadang-kadang unsur akibat dinyatakan dengan tegas yang terpisah dari                  pernuatannya seperti di dalam delik materil;
c.       Unsur kesalaha, yang di wujudkan dengan kata-kata sengaja (opzet) atau alpa (culpa);
d.      Unsur melawan hukum (wederrehtelijke) ;
e.       Dan masih banyak unsur-unsur lain menurut rumusan undang-undang, dan dibedakan menjadi segi obyektif, misalnya dalam pasal 160 KUHP diperlukan unsur direncanakan lebih dahulu (voorbedachteraad).[8]
            Menurut Hazewinkel Suringa di dalam suatu tindak pidana dimungkinkan adanya beberapa unsur yaitu :
a.       Unsur kelakuan orang (een doen of een nalaten) ;
b.      Unsur akibat, yang ditetapkan dalam rumusan undang-undang karena pembagian delik formal dan materil ;
c.       Unsur psikis, seperti unsur dengan oogmerk, opzet, dan nalatif heid (dengan maksud, dengan sengaja, dan dengan alpa) ;
d.      Unsur obyektif yang menyertai keadaan delik seperti unsure di muka umum ;
e.       Syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan seperti dalam pasal 164 dan 165 KUHP disyaratkan apabila kejahatan terjadi ;
f.        Unsur melawan hukum sebagai unsur yang memegang peranan penting, seperti dalam pasal 167 dan 406 KUHP.[9]

           


            Menurut Prof. Moeljatno, S.H. tindak pidana memiliki unsur-unsur, yaitu :
a.       Kelakuan dan akibat atau perbuatan ;
b.      Hal ihwal atau keadaan yang menyertai perbuatan ;
c.       Keadaan tambahan yang memberatkan pidana ;
d.      Unsur melawan hukum yang obyektif ;
e.       Unsur melawan hukum yang subyektif.[10]
                        Setelah melihat uraian tentang unsur-unsur tindak pidana menurut para   ahli hukum di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah tindak pidana baru dapat     dikenakan sanksi apabila memenuhi unsur-unsur tersebut. Dari situ juga dapat        dinyatakan bahwa suatu aturan hukum pidana baru dapat mengikat apabila :
a.       Ada seseorang atau badan hukum sebagai subyek hukum melakukan suatu perbuatan tindak pidana ;
b.      Ada akibat dari apa yang subyek hukum itu telah lakukan, misalnya adalah hilangnya nyawa orang lain ;
c.       Ada kesalahan baik kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, dengan maksud, atau karena dengan tidak sengaja atau dia tidak melakukan yang seharusnya dilakukan ;
d.      Ada unsur melawan hukum obyektif ;
e.       Juga unsur melawan hukum secara subyektif.
           
            Selain unsur-unsur di atas yang terdapat dalam hukum pidana materiil, hukum pidana dalam arti formil juga memiliki beberapa unsure tambahan seperti tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindak pidana itu harus terjadi di wilayah di mana suatu aturan hukum pidana itu berlaku, seperti KUHP di semua wilayah hukum Indonesia. Dipandang dari sudut waktu, tindak pidana itu masih dirasakan sebagai suatu tundakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluarsa0. terakhir adalah unsur keadaan, di mana tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan tindak pidana itu di pandang sebagai suatu yang tercela atau salah, dengan kata lain adalah suatu hukum positif yang berlaku di Indonesia.

  1. Jenis- Jenis Tindak Pidana
                  Setelah memahami unsur-unsur tindak pidana, kita juga harus     memahami jenis-jenis dari tindak pidana itu sendiri. Jenis tindak pidana pada     yang terdapat dalam KUHP kita sebenarnya hanya 2 jeni, yaitu kejahatan       (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Penggolongan untuk kejahatan     disusun di dalam buku II KUHP dan pelanggaran disusun dalam nuku III             KUHP.[11] Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan       pelanggaran, akan tetapi tidak memberikan arti yang jelas.
                 


                  Perkembangan ilmu pengetahuan mencoba lebih lanjut untuk      memberikan ukuran atas perbedaaan kejahatan dan pelanggaran sebagai berikut :
a.       Kejahatan adalah “crimineel-onrecht” dan pelanggaran adalah “politie-on recht”. Crimineel-onrecht itu merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kepentingan hukum. Politie-onrecht itu merupakan perbuatan yang tidak mentaati larangan atau keharusan yang ditentukan oleh penguasa negara ;
b.      Kejahatan adalah memperkosa suatu kepentingan hukum (krenkings delicten) seperti pembunuhan, pencurian, dan sebagainya atau juga membahayakan suatu kepentingan hukum dalam pengertian yang kongkret, seperti pasal 489 KUHP tentang kenakalan terhadap orang tua atau barang, pasal 497 KUHP membahayakan kepentingan umum akan bahaya kebakaran. Sedangkan pelanggaran adalah hanya membahayakan kepentingan hukum dalam arti yang abstrak, seperti penghasutan dan sumpah palsu ;
c.       Kejahatan dan pelanggaran itu dibedakan karena hakikatnya dan sifatnya yang berbeda, seperti ukuran perbedaan yang diuraikan terdahulu, akan tetapi ada pula perbedaan kejahatan dan pelanggaran di dasarkan atas ukuran pelanggaran itu dipandang dari sudut kriminologi tidak begitu berat di pandang dengan kejahatan. Perbedaan yang demikian ini disebut perbedaan yang kualitatif dan perbedaan yang kuantitatif.[12]
            Selain pembagian jenis tindak pidana menjadi kejahatan, dan pelanggaran, masih dikenal juga pembedaan lainnya yang dasarnya antara lain terletak pada :
a.       Caraperumusannya.                                                                                                    Yaitu tindak pidana formal berhadapan dengan tindak pidana material. Pada tindak pidana formal, yang dirumuskan adalah tindak pidana yang dilarang dengan tidak mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Misalnya seperti yabg terdapat dalam pasal 160 KUHP tentang penghasutan, pasal 209 KUHP tentang penyuapan dan pasal 247 KUHP tentang simpah palsu. Lain halnya pada tindak pidana material, yamg selain dari pada tindakan yang terlarang iotu dilakukan, masih ada akibatnya yang timbul karena tindakan itu, baru dikatakan telah terjadi tindak pidana itu sepenuhnya misalnya pasal 338 KUHP tentang pembunuhan yang memiliki akibat matinya orang.
b.      Cara melakukan tindak pidana.                                                                .                                                               Suatu tindak pidana dapat terjadi karena melakukan suatu tindakan yang dilarang disebut sebagai delik komisi, tidak melakukan suatu tindakan yang diharuskan disebut sebagai delik omisi, atau melakukan suatu tindakan yang sekaligus mencakup pengertian melakukan sambil tidak melakukan tindakan yang dilarang dan diharuskan disebut sebagai delik campuran komosi dan   omisi.
c.       Ada atau tidaknya pengulangan atau kelanjutannya.                                Tindak pidana mandiri adalah jika tindakan yang dilakukan itu hanya satu kali saja, yang mana pelaku di pidana. Tindak pidana berlanjut atau pengulangan adalah bilamana tindakan yang sama berulang kali dilakukan, dan merupakan sebgai kelanjutan dari tindakan semula
d.      Tindak pidana yang memberatkan atau yang meringankan.                   Contoh untuk tindak pidana yang membertakan adalah pasal 363 KUHP terhadap pasal 362 KUHP tentang pencurian, sedangkan contoh tindak pidana yang meringankan adalah pasal 341 terhdap pasdal 338 KUHP tentang     pembunuhan.
e.       Tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana kealpaan.                Yang dimaksud  dengan kesengajaan adalah seseorang yang melakukan tindak pidana dengan sengaja, harus menghendaki serta menyadari tindakan tersebut dan/atau akibatnya. Sedangkan tindak pidana kealpaan adalah kebalikan dari kesengajaan, yaitu dalam kealpaan justru akibat dari tindakan yang di lakukan tidak dikehendaki walaupun pelaku dapat memperkirakan sebelumnya.[13]


      Jika dilihat dari bentuknya suatu tindak pidana juga dapat dibagi menjadi :
a.       Percobaan(poging).                                                                                   Menurut doktrin poging adalah permulaan kejahatan yang belum selesai. Poging menjadi salah satu jenis tindak pidana tersendiri karena diatur dalam pasal 53 KUHP yang berisi tentang suatu percobaan yang dapat di pidana.[14]
b.      Penyertaan(deelnemimg).                                                                      Deelneming adalah suatu peristiwa pidana di mana terdapat beberapa orang atau paling sedikit dua orang terlibat dalam satu tindak pidana. Deelneming dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis tindak pidana,  karena mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang seperti yang diatur dalam pasal 55 s/d 62 KUHP.[15]
c.        Perbarengan atau gabungan tindak pidana (samenloop / concursus). Concorsus atau samenloop van strafbaar feit adalah apabila dalam jangka waktu tertentu seseorang telah melakukan lebih dari satu perilaku terlarang, dan dalam jangka waktu tersebut belum pernah satupun yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan atas perbuatan-perbuatan pidana yang telah di lakukannya. Concursus di atur dalam pasal 63 s/d 71 KUHP.[16]
d.      Delik aduan. Delik aduan adalah merupakan salah satu jenis tindak pidana yang perkaranya baru dapat dituntut apabila adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan, tanpa pengaduan maka tindak pidana tersebut tidak dapatdituntut.                                                                                                         Delik aduan terbagi dua, yaitu :
     1).   Delik aduan mutlak, yakni delik aduan yang baru bisa dituntut jika         telah diadukan terlebih dahulu, tidak selalu anggota keluarga boleh    juga orang lain yang merasa dirugukan. Contoh : perzinahan yang           harus diasukan oleh suami atau isteri yang pasangannya telah   melakukan zinah.
     2).   Delik aduan relative, yakni suatu delik aduan baru bias dituntut jika        telah diadukan oleh keluarga yabg dirugikan. Yang pelakunya adalah         anggota keluarga itu juga. Contoh : Pencurian dalam keluarga.[17]

B. Tindak Pidana Terhadap Tubuh
     1. Pengertian Tindak Pidana Penganiayan
                        Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut          “penganiayaan”. Dibentuknya kejahatan terhadap tubuh manusia (misdrijven    tegen het lijf) ini ditujukan bagi perlindungan kepentingan hukum atas tubuh             dari perbuatan-perbuatan berupa penyerangan atas tubuh atau bagian dari         tubuh yang mengakibatkan rasa sakit atau luka, bahkan karena luka yang           sedemikian rupa pada tubuh dapat menimbulkan kematian.[18]
                        Pengertian penganiayaan di dalam KUHP sendiri tidak diberikan           penjelasan mengenai apa yang di maksudkan dengan penganiayaan. Oleh             karena itu untuk megetahui apa yang di maksud penganiayaan perlu adanya             penafsiran yang didasarkan atas sejarah terbentuknya pasal tersebut. Mula-       mula dalam rancangan Undang-Undang dari pemerintah Belanda diketemukan   perumusan penganiayaan yaitu “dengan sengaja mengakibatkan rasa sakit             dalam tubuh orang lain dan dengan sengaja merugikan kesehatan orang lain”.[19]
                        Perumusan ini dalam pembicaraan Parlemen Belanda dianggap tidak      tepat, oleh karena meliputi juga perbuatan seorang pendidik terhadap anak dan             perbuatan seorang dokter terhdap pasiennya. Keberatan ini diakui             kebenarannya, maka perumusan penganiayaaan diganti “berbuat sesuatu            dengan tujuan mengakibatkan rasa sakit”.[20]
                        Dengan berdasarkan rumusan di atas selanjutnya dapat disimpulkan       bahwa pengertian penganiayaan menurut ulasan tadi adalh perbuatan yang          ditujukan pada orang lain yang dilakukan dengan sengaja dan mengakibatkan             sakit atau luka. Agar dapat memperoleh perbandingan pandangan mengenai       pengertian yang mendasar perihal tindak pidana penganiayaan tersebut ada         baiknya di sini saya ikuti jalan fikiran yurisprudensi yang termuat dalam   penjelasan pasal 351 KUHP yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit atau luka.    Menurut pasal 351 alinea 4 masuk pula dalam pengertian penganiayaan yaitu             sengaja merusak kesehatan orang.
            Menurut Soesilo :
            yang dimaksud perasaan tidak enak, miaslnya mendorong terjun ke kali             sehingga basah, suruh orang berdiri diterik matahari dan sebagainya.       Yang dimaksud dengan rasa sakit, misalnya menyubit,             mendupak,      memukul, menempeleng, dan sebagainya. Luka     misalnya mengiris,     memotong, menusuk dengan pisau dan lain-lain.            Merusak kesehatan misalnya orang sedang tidur dan berkeringat dibuka jendela kamarnya,     sehingga orang masuk angin.[21]
                        Semua ini harus dilakukan dengan sengaja dan tidak dengan maksud      yang patut atau melewati batas yang diijinkan. Misalnya seorang dokter gigi mencabut gigi dari pasiennya, sebenarnya dapat sengaja menimbulkan rasa             sakit, akan tetapi perbuatannya itu bukan penganiayaan, karena ada maksud      baik untuk mengobati.
                       

                        Dari rumusan tersebut di atas saya melihat ada dua arti penganiayaan,    yang pertama dalam arti sempit yaitu suatu upaya merusak atau merugikan     kesehatan orang, dalam arti luas ialah bahwa penganiayaan akan menerbitkan    rasa tidak enak (penderitaan). Pengertian lebih luas karena juga mencakup    segi abtiniah. Oleh karena itu penganiayaan adalah identik dengan penyiksaan. Hali ini sesuai dengan arti poenganiayaan menurut   Poerwadarminta adalah “perlakuan yang sewenag-wenang (penyiksaan, penindasan dan sebagainya)”.[22] Penganiayaan adalah identik dengan      penyiksaan, karena penyiksaan itu sendiri dapat diartikan sebagai upaya yang          bertujuan untuk menerbitkan penderitaan lahiriah atau batiniah.
                        Sehubungan dengan uraian mengenai “perasaan tidak enak’ tersebut di atas, menurut saya sebaiknya harus dimiliki suatu batasan penafsiran yang    tegas tentang pengertian rasa tidak enak yang menimbulkan penderitaan itu             karena terlalu luas.
                        Dari kualifikasi itu penganiayaan pada hakekatnya adalah setiap             perbuatan yang dilakukan dengansengaja dan dengan tujuan untuk             menimbulkan akibat rasa sakit atau llahiriah saja. Jadi dengan adanya             beberapa perumusan mengenai penganiayaan ini menurut saya tergantung           bagaimana pengertian ini akan di terapkan.


2. Unsur-Unsur  Tindak Pidana Penganiayaan.
                  Atas dasar unsur kesalahannya, kejahatan terhadap tubuh terdiri dari     dua macam bentuk, yaitu :
      1. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan sengaja
          Kejahatan terhadap tubuh  yang dilakukan dengan sengaja (penganiayaan)         dapat di bedakan menjadi lima macam yakni :
1.1.  Penganiayaan Biasa (351 KUHP).
         Menurut pasal 351 , maka penganiayaan dapat dibedakan menjadi 4     jenis, yaitu :
1.      penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian (ayat 1).
2.      Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat (ayat 2).
3.      Penganiayaan yang mengakibatkan kematian (ayat 3).
       
        Unsur-unsur penganiayaan biasa :
a.       Adanya unsur kesengajaan (opzet als oogmerk);
b.      Adanya perbuatan ;
c.       Adanya akibat perbuatan (yang dijtuju), yakni :
      - Rasa sakit pada tubuh, dan atau
      - Luka pada tubuh 
d.      Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya.

1.2.  Penganiayaan Ringan (352 ayat (1) KUHP)
        Unsur-unsur penganiayaan ringan :
a.       Bukan berupa penganiayaan berencana (353 KUHP)
b.      Bukan penganiayaan yang dilakukan :
                              1). Terhadap ibu atau bapaknya yang sah, isteri atau anaknya
                              2). Terhadap pegawai negeri yang sedang dan atau karena                                      menjalankan tugasnya yang sah
      3). Dengan memasukkan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau     kesehatan untuk di makan atau di minum
c.       Tidak menimbulkan penyakit atau halangna untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
1.3.  Penganiayaan Biasa Berencana
         Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu                               (mete voorbedachte rade) sebelum perbuatan dilakukan
1.4.  Penganiayaan Berat
        Unsur-unsur penganiayaan berat :
a.       Kesalahannya merupakan  kesengajaan (opzettelijk)
b.      Perbuatannya mengakibatkan luka berat
c.       Obyeknya adalah tubuh orang lain
d.      Akibat perbuatannya menimbulkan luka berat
1.5.  Penganiayaan Berat Berencana
         Kejahatan ini merupakan gabungan antara penganiayaan berat (354       ayat (1)) dan penganiayaan berencana (353 ayat (2)). Kedua bentuk        penganiayaan ini harus terjadi secara serentak atau bersama-sama.          Oleh karena harus terpenuhi baik unsure penganiayaan berat maupun     unsur penganiayaan berecana.kematian dalam penganiayaan berat             berencana bukanlah menjadi tujuan. Dalam hal akibat, kesengajaannya         ditujukan pada akibat luka beratnya saja dan tidak pada kematian         korban. Sebab, jika kesengajaan terhadap matinya korban, maka disebut pembunuhan.
         Unsur- unsur penganiayaan berat berencana :
a.       Penganiayaan yang dilakukannya itu telah direncanakan lebih dahulu
b.      Sudah ada niat untuk menimbulkan luka berat pada korban.
            2. Kejahatan terhadap tubuh yang dilakukan dengan tidak sengaja
                        Kejahatan ini merupakan kejahatan culpa, yakni kejahatan karena                         kesalahan atau kealpaannya.
                Unsur-unsur kejahatan ini adalah :
a.       Ada perbuatan
b.      Karena kesalahan
c.       Menimbulkan akibat orang luka-luka berat, luka yang menimbulkan penyakit, atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana Penganiayaan
            `           Setelah memahami unsur-unsur tindak pidana penganiayaan, kita juga                harus memahami jenis-jenis dari tindak pidana penganiayaan itu sendiri. Jenis           tindak pidana penganiayaan pada yang terdapat dalam pasal KUHP kita       terdiri dari 5 jenis, yaitu penganiayaan biasa yang tidak dapat     menimbulkan luka berat maupun kematian, penganiayaan yang        mengakibatkan luka berat, penganiayaan yang mengakibatkan kematian,            dan             penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan.Penggolongan tersebut   diatur dalam Bab XX Buku II KUHP.[23]

            Tetapi Undang-Undang hanya memberikan penggolongan dari jenis-      jenis tindak       pidana penganiayaan,             akan tetapi tidak memberikan arti yang lebih jelas.
                        Dengan adanya lima  macam penganiayaan menurut pasal          KUHP itu,        maka akan saya bahas satu persatu dari masing-masing penganiayaan.
1.      Penganiayaan Biasa (Pasal 351 KUHP)
1.1. Penganiayaan Biasa Yang Tidak Dapat Menimbulkan Luka Berat    Maupun kematian.
                       

                        Seseorang dapat dikatakan melakukan penganiayaan seperti      yang tersebut dalam pasal 351 ayat (1), apabila perbuatan yang       dilakukan bertujuan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka, maka         disebut dengan penganiayaan biasa. Sakit atau luka yang dimaksud di    sini hanya sekedar luka-luka yang dapat sembuh, dan bukan luka-luka     berat. Dengan adanya luka-luka yang dapat sembuh ini penderita cepat bisa menjalankan pekerjaannya
1.2. Penganiayaan Yang Mengakibatkan Luka Berat
                        Seseorang dapat dikatakan melakukan penganiayaan seperti      yang tersebut dalam pasal 351 ayat (2), apabila perbuatan yang       dilakukan bertujuan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka berat          yang menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan            atau pencaharian sehari-hari.

1.3. Penganiayaan Yang Menyebabkan Kematian
                  Yang dimaksud dengan penganiayaan yang menyebabkan          matinya orang adalah apabila seseorang melakukan suatu perbuatan         yang menimbulkan kematian atau hilangnya nyawa orang lain.
           
            2. Penganiayaan Ringan (Pasal 352 KUHP)
                        Menurut pasal 352 ayat (1) KUHP yang dimaksud dengan        penganiayaan ringan adalah perbuatan yang tidak menimbulkan akibat          sesuatu penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau                           pencahariannya.[24]
           
            3. Penganiayaan Biasa Berencana
                        Menurut Soesilo, penganiayaan biasa berencana adalah perbuatan        yang dengan dirancang, dipikir-pikir lebih dahulu artinya antara timbulnya      maksud untuk menganiaya dengan pelaksanannya itu masih ada tempo   bagi si pembuat untuk dengan memikirkan, misalnya dengan cara          bagaimanakah penganiayaan itu akan dilakukan. “tempoh” ini tidak boleh   terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah di dalam tempoh itu si pembuat dengan tenang masih       dapat berpikir-pikir, yang sebenarnya ia masih ada kesempatan untuk              mambatalkan niatnya     akan menganiaya itu, akan tetapi tidak ia pergunakan.[25]
           
            4. Penganiayaan Berat (Pasal 354 KUHP)
                        Di dalam penganiayaan berat di sini pelaku memang dengan sengaja       menimbulkan luka-luka berat pada korban. Jadi ada unsure niat untuk         melukai berat. Luka-luka berat pada penganiayaan berat adalah sangat berbeda dengan akibat luka-luka berat dalam pasal 351 ayat 2 KUHP, sebab     luka-luka berat dalam penganiayaan berat dalam pasal 354 KUHP adalah           menjadi tujuan utama yang dilakukan dengan sengaja. Sedang luka-       luka berat dalam pasal 351 ayat (2) KUHP adalah sebagai akibat            penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku, dalam hal ini pelaku tidka tidak     mempunyai kesengajaan di dalam menganiaya itu untuk menimbulkan luka          berat pada korban.
           
            5. Penganiayaan Berat Berencana
                        Di dalam penganiayaan berat yang direncanakan lebih dahulu ini             pelaku sebelum melakukan perbuatannya sudah mempunyai niat lebih dahulu           untuk melakukan penganiayaan.
                                   
                       
                       
           


           
           
.

           




                                   





                       
                       

                       



[1] Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Ghalita Indonesia, 19920), hlm. 91
[2] Ibid, hlm. 91
[3] J.T.C Simorangkir, Rudy T. Erwin, J.T Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000), hlm. 161,
[4] Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), hlm. 54,
[5] Ibid, hlm, 55
[6] S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni Ahaem-patehaem), hlm. 203
[7] Ibid, hlm. 205,
[8] Bambang Poernomo. Op.cit hlm. 104

[9] Ibid, hlm. 104
[10] Moeljatno, Op.cit hlm, 63
[11] Bambang Poernomo, Op.cit. hlm. 95
[12] Bambang Poernomo, Op.cit. hlm. 96
[13] S.R. Sianturi, Op.cit hlm. 232-236
[14] Nursya Aisyah, Diktat Percobaan Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana (Jakarta ; Fakultas Hukum Universitas Jayabaya, 2000), hlm. 1
[15] Ibid, hlm. 11
[16] S.R. Sianturi, Op.cit hlm 26
[17] S.R. Sianturi, Op.cit hlm. 42
[18] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 47
[19] Wiryo Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Jakarta-bandung, 1980), hlm. 70
[20] Ibid, hlm. 71
[21] R. Soesilo, Pelajaran Lengkap Hukum Pidana Sistim Tanya Jawab, (Bogor :Politea, 1981), hlm. 141
[22] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pusataka, 1966), hlm 50
[23] Andi Hamzah, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta. 1992), hlm. 137
[24] Ibid, hlm. 137
[25] R.Soesilo, Op.cit. hlm. 141

1 komentar: